22 Desember 2008

Nama TUHAN

Oleh: K.A.M. Jusufroni
Dalam Bahasa Ibrani tidak ada perbedaan antara “nama”, “sebutan” dan “gelar.” Kata “shem” dalam Bahasa Ibrani menunjukkan “nama” sekaligus “sebutan.” Kata ini digunakan dalam penyebutan nama diri atau nama pribadi (personal name), baik untuk orang, binatang, tumbuhan maupun tempat dan benda, misalnya dalam Kejadian 2:11 (nama sungai), 3:19 (nama orang), 4:17 (nama kota), dan sebagainya.

Kata “shem” juga digunakan untuk penyebutan nama generik atau sebutan (generic name), misalnya dalam Kejadian 5:2 (laki-laki dan perempuan diberi nama “manusia”), Kejadian 16:13 (Hagar menamai TUHAN: “El Ro’i”), 21:33 (Abraham menyebut nama TUHAN: “El ‘Olam” artinya “Ilah yang kekal”), Keluaran 6:2 (TUHAN menampakkan diri kepada Abraham, Ishak dan Yakub dengan nama “El Shadddai” artinya “Ilah Yang Berkuasa”), 34:14 (nama TUHAN disebut “Qanna” artinya “Cemburuan”), Mazmur 48:11 (“Elohim” digunakan sebagai nama TUHAN), Yesaya 9:5 (nama Mesias disebut “Penasihat Ajaib”, “Ilah Yang Perkasa”, “Bapa Yang Kekal” dan “Raja Damai”), 57:15 (nama TUHAN disebut “Qaddosh” artinya “Yang Maha Kudus”), Amos 5:27 (nama TUHAN disebut “Elohim Tseva’oth” artinya “TUHAN Semesta Alam”), dan banyak lagi ayat pendukung dalam Alkitab.

Istilah lain dalam Alkitab yang diterjemahkan “sebutan” adalah “qara” dan “zeker.” Tetapi, kedua istilah ini sama sekali tidak untuk dibedakan dengan “nama” (shem). Sebab, dalam Alkitab, kata “qara” sering menggantikan kata “shem” (misalkan 1Samuel 4:21). Sementara kata “zeker” lebih tepat diterjemahkan “memorial” atau “peringatan.”

Dalam Perjanjian Baru, pembedaan antara “nama”, “sebutan” dan “gelar” di kalangan Yahudi juga tidak ditemukan. Misalnya, “Kristus” yang adalah gelar bagi Yesus juga dianggap sebagai “nama” (onoma) bagi Yesus (Roma 15:20).

Nama TUHAN

Apakah TUHAN memiliki “nama pribadi” (personal name)? Inilah yang menjadi perdebatan di kalangan umat Kristen, yaitu ketika orang-orang Kristen berusaha membedakan antara “nama pribadi” (personal name) dengan “nama umum” (generic name). Sementara, dalam tradisi Semit, tidak dikenal pembedaan itu.

Sebagian orang kemudian menyimpulkan bahwa “YHWH” adalah “nama pribadi” TUHAN. Alasannya adalah, itulah nama yang diperkenalkan TUHAN kepada Musa dalam Keluaran 3:15 dan dianggap sebagai nama TUHAN turun-temurun yang wajib dipelihara dan dihormati.

Uniknya, nama “YHWH” baru diperkenalkan TUHAN kepada Musa dan belum diperkenalkan kepada Abraham, Ishak dan Yakub (Keluaran 6:2). Tentulah, nama ini juga belum diperkenalkan kepada generasi-generasi sesudah Yakub dan sebelum Musa. Sebab, jika nama itu sudah diperkenalkan sebelumnya kepada generasi-generasi itu, maka Musa tidak perlu lagi bertanya “siapa nama TUHAN.”

Pertanyaan Musa dalam Keluaran 3:13 mengenai “nama TUHAN” merupakan pengaruh dari budaya sekitar, khususnya Mesir, yang mengenal adanya “nama” bagi sembahan mereka. Tetapi, respon TUHAN pada ayat 14 adalah “ehye asher ehye” (harafiah: “yang akan ada adalah yang akan ada”, LAI menerjemahkan “AKU ADALAH AKU”). Dipertegas lagi pada kalimat berikutnya, “ehye” (harafiah: “yang akan ada” atau “yang telah ada”, LAI menerjemahkan “AKULAH AKU”). Baru kemudian pada ayat 15 muncul nama “YHWH.”

Respon TUHAN ini secara jelas menunjukkan bahwa DIA tidaklah bisa dibatasi oleh apapun, termasuk oleh sebuah nama. DIA yang dipanggil dengan nama “El Shaddai” pada zaman Abraham, Ishak dan Yakub adalah DIA yang sama dengan yang dipanggil “Elohim” ataupun “YHWH.”

YHWH

Meskipun TUHAN memiliki banyak sekali “nama” (shem), tetapi nama “YHWH” memang merupakan satu-satunya nama yang unik. Unik sebab nama ini tidak pernah diberi kata sandang “ha-” dan tidak memiliki akar kata yang bisa ditelusuri. Keunikan lainnya adalah nama ini tidak memiliki padanan dengan nama-nama sembahan bangsa Semit lainnya.

Mungkin inilah alasan lain kenapa YHWH kemudian dianggap sebagai “nama pribadi” TUHAN. Namun, jika kita ingin konsisten dengan tradisi Semitik, maka sebaiknya kita tidak membeda-bedakan antara “nama pribadi” dengan “nama umum” itu, sebagaimana lazimnya tradisi Semit.

Dalam kerangka teologis, memang nama YHWH perlu mendapatkan perhatian khusus. Orang Israel menyebut nama ini sebagai nama yang kudus, yang tidak boleh digunakan secara sembarangan (lashshaw), berangkat dari penafsiran mereka akan Keluaran 20:7.

Kata “lashshaw” (dengan sembarangan) dalam Keluaran 20:7 berakar dari kata sho atau sho’a, artinya “tindakan yang bersifat merusak atau merugikan.” Jadi, pengertian dalam Keluaran 20:7 seharusnya adalah “jangan menggunakan nama YHWH untuk hal-hal yang bersifat merusak atau merugikan, sebab YHWH akan menganggap bersalah orang yang menyebut nama-NYA untuk hal-hal yang bersifat merusak atau merugikan.”

Itulah sebabnya, orang-orang Israel kemudian membatasi penggunaan nama YHWH untuk hal-hal yang bersifat ibadah (termasuk perang untuk membela nama TUHAN, kota TUHAN, bait TUHAN dan umat TUHAN).

Nama YHWH adalah yang paling sering muncul dalam Perjanjian Lama (PL). Nama ini juga populer disebut “Tetragrammaton”, suatu istilah dalam Bahasa Yunani yang berarti “kata yang terdiri dari empat huruf.” Sering juga disebut “Quadriliteral.”

Nama ini muncul pertama kali dalam Kejadian 2:4 dan digunakan bersama-sama dengan nama Elohim (YHWH Elohim). Selanjutnya dalam keseluruhan PL, nama ini muncul hampir 6528 kali.

Dalam Septuaginta (LXX), nama YHWH diterjemahkan KURIOS dengan penggunaan huruf kapital semuanya. Sebab, dalam menjaga kekudusan nama itu, orang-orang Yahudi melarang penggunaan nama YHWH di luar Bait YHWH, baik dalam penulisan maupun pengucapan. Sementara, naskah LXX merupakan naskah yang cukup luas digunakan di luar Bait YHWH.

Model penulisan ini kemudian diikuti dalam alkitab terjemahan Inggris, dimana kata YHWH diterjemahkan LORD dan GOD. Dalam alkitab terjemahan LAI, kata YHWH sering diterjemahkan TUHAN dan ALLAH. Demikian juga dalam hal pengucapan. Orang-orang Yahudi menyebut YHWH dengan sebutan “ADONAI” ( TUHAN) atau “HASHSHEM” (Sang Nama).

Pada periode Bait YHWH, nama YHWH masih dibacakan oleh imam dalam liturgi pengucapan berkat imamat (Bilangan 6:24-26) setelah persembahan kurban harian. Dasar untuk tetap membacakan nama YHWH dalam berkat imamat adalah dalam Bilangan 6:27. Namun, jika ibadah dilakukan di sinagoge, nama YHWH tidak disebutkan melainkan digantikan dengan ADONAI. Pada perayaan Yom Kippur, Imam Besar menyebutkan nama YHWH sebanyak sepuluh kali dalam doa dan berkat.

Menjelang kejatuhan Yerusalem, nama YHWH tetap dibacakan tetapi dengan suara yang tidak nyaring, sehingga nama itu pun tidak terdengar dalam kantilasi para imam. Setelah kehancuran Bait YHWH (70 M), penyebutan nama YHWH dalam liturgi pun tidak dilakukan lagi. Meski demikian, tradisi penyebutan nama YHWH tetap dilakukan di sekolah-sekolah para rabbi.

Tradisi ini kemungkinan bertahan di sekolah-sekolah para rabbi hingga abad ke-4, dan setelah itu, tidak ada literatur yang dapat memberikan informasi mengenai penyebutan nama YHWH.

Di kalangan Samaritan, yang telah banyak melakukan modifikasi terhadap tradisi Yudaisme, nama YHWH hanya digunakan dalam pengucapan sumpah ketika terjadi skandal di antara para rabbi. Menurut penelitian, di kalangan Samaritan modern, nama YHWH dibaca Yahweh atau Yahwa.

Di kalangan Kristen, upaya untuk menemukan kembali cara penyebutan yang benar terhadap nama YHWH tetap dilakukan di antara bapak-bapak gereja. Epifanius, yang lahir di Palestina, menuliskan YHWH dalam Bahasa Yunani dengan iabe dan dibaca iave. Sementara, Theodoret, yang lahir di Antiokhia, menuliskan bahwa kaum Samaritan menyebut YHWH dengan sebutan yang sama (iabe), namun dalam beberapa bagian lainnya, ia justru menulisnya iabai.

Para ahli modern kemudian melacak dari periode pemberian bunyi vokal dalam huruf Ibrani oleh kalangan Masora atau yang lebih populer disebut Masoret. Dalam naskah Masora, kata YHWH diberi vokal YEHOWAH. Bentuk ini muncul sebanyak 6518 kali dalam keseluruhan Teks Masora. Dari sinilah muncul istilah Inggris JEHOVAH, dimana huruf yod dibaca J (band. Yerushalayim menjadi Jerusalem) dan waw dibaca V (band. Dawid menjadi David).

Menurut para pendukung penyebutan YEHOWAH atau JEHOVAH, penyebutan ini muncul dengan memasukkan bunyi vokal pada kata Adonai ke dalam kata YHWH. Namun, penyebutan ini kemudian dikritik oleh para ahli bahasa modern.

Secara grammatikal, memasukkan bunyi vokal Adonai ke dalam YHWH merupakan suatu hal yang tidak mungkin. Sebab, pada kata Adonai, konsonan alef diberi vokal khataf patakh (a), yang digunakan untuk konsonan-konsonan gutteral (huruf-huruf tenggorokan). Sementara, kata YHWH diawali dengan konsonan yod, yang bukan konsonan gutteral. Akibatnya, bunyi vokal khataf patakh harus mengalami modifikasi menjadi shewa untuk bisa sesuai dengan kata YHWH.

Meskipun khataf patakh dan shewa sama-sama merupakan bunyi lemah, dan merupakan allofon dari fonem yang sama, tetapi perubahan ini tidak bisa diterima oleh kebanyakan ahli linguistik modern. Karenanya, para ahli modern mengatakan bahwa pemberian vokal Adonai pada kata YHWH oleh kelompok Masora bukanlah dengan tujuan supaya kata YHWH dapat dibaca, melainkan dengan tujuan supaya ketika orang menemukan kata YHWH, maka mereka membacanya Adonai.

Salah satu pakar Bahasa Ibrani yang keberatan dengan teori di atas adalah Wilhelm Gesenius (1786-1842). Karena itu, ia lebih setuju jika rekonstruksi tetragammaton dilakukan dengan mengkaji ulang transliterasi Yunaninya yang digunakan di kalangan Yudaisme, Samaritan, dan bapak-bapak gereja mula-mula.

Penyelidikan juga dilakukan terhadap penggunaan nama YHWH pada nama orang dalam PL. Hasilnya adalah nama itu muncul dalam bentuk Yeho- atau Yo- ketika berada di depan nama orang (misalnya: Yehoshu’a; Yoram), dan menjadi –Yahu atau –Yah ketika berada di belakang nama orang (misalnya: Yisayahu; Adoniyah).

George Wesley Buchanan mengatakan bahwa dalam bentuk-bentuk singkatan, nama YHWH lebih sering muncul dalam bentuk Yah atau Yo, misalnya dalam kitab-kitab sastra, khususnya Mazmur. Jika diucapkan dengan tiga suku kata, maka kemungkinan yang terdekat adalah Yahowah atau Yahuwah, sedangkan dalam dua suku kata kemungkinan yang terdekat adalah Yaho.

Dalam tulisan bapak-bapak gereja, transliterasi Yunani yang paling dominan muncul untuk YHWH adalah:

1. Iaôuê; Iabe

2. Iao; Iae

3. Aia

4. Ia

dari keempat model tersebut, sebutan Iabe digunakan oleh kalangan Samaritan sehingga diyakini sebagai penyebutan yang paling mendekati dengan penyebutan kuno terhadap YHWH.

Dari situlah kemudian muncul sebutan Yahweh yang kemudian didukung dengan sejumlah naskah sekunder lainnya, di antaranya salah satu papirus dan naskah-naskah Ethiopia tentang Yesus. Meskipun Yahweh dianggap sebagai penyebutan yang paling mendekati sebutan kuno, namun, para penafsir Yahudi tetap tidak mau menerima sebutan itu.

Di kalangan Yahudi, sebutan Yehowah (Jehovah) dan Yahweh sama-sama ditolak. Alasannya, di samping karena tradisi yang mengharuskan demikian, mereka juga menganggap sebutan-sebutan itu hanyalah hipotesis yang sewaktu-waktu bisa berubah dengan berbagai penemuan manuskrip-manuskrip kuno. Hal yang sama berlaku untuk penulisan ke dalam huruf lain (transliterasi).

Ketika menuliskan YHWH ke dalam teks Latin Inggris, mereka menulisnya G-d. Bahkan, di kalangan ortodoks, penulisan ke dalam teks Ibrani pun mengalami penyingkatan menjadi יי (YY) demi penghormatan terhadap YHWH.

Nama ini sering digabungkan dengan istilah-istilah tertentu:

- YHWH Yir’e – “YHWH akan menyediakan”

harafiahnya “YHWH akan melihat” dan lebih sering di baca Yire (atau versi Inggrisnya: Jireh), padahal seharusnya dibaca Yir-e dari kata Ra’a (ראה) – Kejadian 22:8,14

- YHWH Rafa – “YHWH Yang menyembuhkan”

Keluaran 15:26

- YHWH Nissi – “YHWH adalah panji-panjiku”

ini tidak dipahami sebagai Nama TUHAN tetapi lebih sebagai peringatan suatu peristiwa – Keluaran 17:15

- YHWH Shalom – “YHWH adalah keselamatan”

Kata Shalom memiliki makna luas dalam Bahasa Ibrani, meliputi “kedamaian, kesejahteraan, ketentraman, kemakmuran, dan sebagainya” – Hakim-hakim 6:24

- YHWH Ra’i – “YHWH adalah gembalaku”

Lebih sering disebut YHWH Ra’a “YHWH adalah gembala” – Mazmur 23:1

- YHWH Tsidqenu “YHWH adalah keadilan kita”

Bisa juga berarti “YHWH adalah kebenaran kita” – Yeremia 23:6; 33:16

- YHWH Shamma “YHWH hadir di situ”

Bisa juga berarti “YHWH hadir” – Yehezkiel 48:35

- YHWH Tseva’oth – “YHWH Semesta Alam”

Harafiahnya “YHWH bala tentara” – 1Samuel 1:3; 17:45

Elohim

Nama “Elohim” berakar dari kata “El.” Kata El diadopsi dari bahasa Kanaan, kerajaan kecil yang pertama kali direbut Israel sekeluarnya dari Mesir. Di Kanaan, menurut sejarah, El merupakan nama kepala dewa Kanaan dan ayah dewa Baal. Kata ini memiliki padanan dengan kata “Il dalam bahasa Ugarit dan Arab. Secara harafiah, kata ini sebenarnya berarti “kekuatan; tenaga; Yang Perkasa; pahlawan.” Digunakan juga untuk manusia dan benda

Merupakan sebutan umum bagi sembahan/ilah di wilayah Semitik. Di wilayah Semit Timur (Akkadian) dikenal il, illi, ili Dalam dialek Amorit (Arab Utara): ila, ilah, ilum

Dalam Bahasa Syria (abad ke-7): alaha

Dalam Bahasa Kanaan: el

Dalam Bahasa Ibrani: el, eloah, elah

El muncul sebanyak 242 kali dalam PL (sudah termasuk bentuk-bentuk perubahannya) diterjemahkan:

1. TUHAN

2. Kuasa/kemampuan

3. Penghuni surgawi

4. Ilahi

5. Hawa nafsu

Untuk membedakan dengan nama ilah lain di wilayah Semit, dalam Alkitab, ketika El merujuk kepada YHWH (TUHAN Israel) selalu disertai dengan kata sifat tambahan

Misalnya: El-Shaddai (El Yang Maha Kuasa), El ‘Elyon (El Yang Maha Tinggi), El ‘Olam (El Yang Kekal), El-Ro’i (El Yang Melihat), El Elohe Yisra’el (El Ilah Israel), El-Hakkavod (El Yang Mulia)

Bentuk lain dari “El” adalah Eloah muncul sebanyak 56 kali dalam PL (sudah termasuk bentuk-bentuk perubahannya) diterjemahkan “Allah” dalam TB-LAI, baik merujuk kepada TUHAN Israel maupun tuhan bangsa lain (2Tawarikh 32:15)

Paling sering muncul dalam kitab-kitab sastra, khususnya Ayub (40 kali). Dalam kitab Taurat, hanya muncul dalam kitab Ulangan.

Asal kata ini tidaklah jelas. Banyak ahli meyakini bahwa kata ini telah digunakan sejak milenium ke-2 SM (Ulangan 32:15) dan abad ke-5 SM (Nehemia 9:17). Dalam bahasa Arab, kata ini sepadan dengan kata Ilah, sedangkan dalam bahasa Aramik kuno (Kasdim), kata ini sepadan dengan kata Elah, yang diterjemahkan “Allah” dan “dewa.”

Kata Elah muncul sebanyak 95 kali dalam kitab-kitab PL yang dituliskan dalam Bahasa Aramik (Ezra dan Daniel) juga diterjemahkan “Allah” dan “dewa.”

Kata Elah dominan digunakan dalam kitab Ezra, yaitu sebanyak 43 kali dan selalu merujuk kepada TUHAN Israel. Dalam kitab Yeremia, satu-satunya ayat yang ditulis dengan Bahasa Aramik, yaitu 10:11, kata ini digunakan untuk menyebutkan “para ilah”

Kata Elohim muncul sebanyak 2.605 kali dalam PL. Elohim adalah bentuk jamak dari kata El dan Eloah. Namun, dalam PL, kata ini justru lebih sering digunakan dalam bentuk tunggal, yaitu ketika menyebut TUHAN Israel.

Karena merupakan bentuk jamak, banyak penafsir Kristen mengaitkan Elohim dengan Trinitas. Sementara, para penafsir kontemporer lebih melihatnya sebagai pengaruh atau bias politeisme di sekitar Israel. Kedua pendapat ini tidak didukung oleh bukti-bukti identik, baik dari Alkitab maupun dari luar Alkitab (tradisi Ibrani dan literatur lain).

Dalam tradisi Ibrani, penggunaan bentuk jamak sudah lazim dimaksudkan untuk mengintensifkan/memperluas gagasan yang dikemukakan dalam bentuk tunggalnya. Misalnya kata langit dan air selalu muncul dalam bentuk jamak: shamayim dan mayim. Dengan demikian, Elohim mengarahkan perhatian kepada kepenuhan TUHAN yang tak kunjung habis, kepada kelimpahan hidup dalam TUHAN.

Adonai

Kata “Adonai” merupakan bentuk jamak dari kata “Adoni” artinya “tuanku, Tuhanku.” Kata ini berakar dari Adon, yang berasal dari Bahasa Ugarit, Funisia dan Akkadian, artinya “Tuan, Junjungan, atau Tuhan.” Biasanya digunakan untuk menyebutkan seseorang yang memiliki kuasa atas para budak (Kejadian 24:9). Sering juga digunakan untuk para raja dan pejabat-pejabat kerajaan. Dalam PL, kata ini muncul sebanyak 334 kali.

Dalam Bahasa Funisia kata “Adonai” digunakan untuk menyebut dewa Tammuz, yang sejajar dengan dewa gembala Dumuzi di Sumeria.

Kata Adonai muncul sebanyak 432 kali dalam PL. Pada zaman PL, orang Ibrani menyebut YHWH dengan sebutan “Adonai” sebab bagi mereka, nama YHWH amatlah suci, sehingga tidak bisa disebutkan begitu saja, kecuali dalam ibadah-ibadah di Bait TUHAN.

Allah

Kata “Allah” berasal dari bahasa Arab dan berakar dari kata kuno Il (dari bahasa Ugarit) atau El (Kanaan). Sama halnya dengan El, kata Allah berawal dari sebutan lazim di tanah Arab terhadap kepala para dewa. Nama itu telah dikenal di Arab jauh sebelum Islam dan pernah ditemukan dalam prasasti di Afrika Utara.

Selain Allah, di Arab juga dikenal nama-nama dewa lainnya seperti Hubal, al-Lat, al-‘Uzza, dan Manat. Allah diyakini sebagai kepala para dewa, sama seperti Zeus dalam mitologi Yunani atau El dalam mitologi Kanaan.

Menurut Carleton S. Coon, nama “Allah” awalnya hanyalah sebuah gelar untuk dewa bulan Arab, berasal dari dua kata “al-ilah” yang kemudian menjadi sebuah kata tunggal “Allah.” Teori ini begitu populer meskipun banyak yang menolaknya.

Mereka yang menolak teori ini mengatakan bahwa teori ini menyalahi bahasa dan kaidah bahasa Arab. Bentuk ma'rifat (definitif) dari kata ilah adalah al-ilah, bukan Allah. Dengan demikian kata al-ilah dikenal dalam bahasa Arab.

Penggunaan kata tersebut misalnya oleh Abul A'la al-Maududi dalam Mushthalahatul Arba'ah fil Qur'an dan Syaikh Abdul Qadir Syaibah Hamad dalam al-Adyan wal Furuq wal Dzahibul Mu'ashirah. Kedua penulis tersebut tidak menggunakan kata Allah, melainkan al-ilah sebagai bentuk ma'rifat dari ilah.

Dalam bahasa Arab pun dikenal kaidah, setiap isim (kata benda atau kata sifat) nakiroh (umum) yang mempunyai bentuk mutsanna (dua) dan jamak, maka isim ma'rifat kata itu pun mempunyai bentuk mutsanna dan jamak. Hal ini tidak berlaku untuk kata Allah, kata ini tidak mempunyai bentuk ma'rifat mutsanna dan jamak. Sedangkan kata ilah mempunyai bentuk ma'rifat baik mutsanna (yaitu al-ilahani atau al-ilahaini) maupun jamak (yaitu al-alihah). Dengan demikian kata al-ilah dan Allah adalah dua kata yang berlainan.

Robert Morey dalam bukunya berjudul Islamic Invasion: Confronting the World Fastest Religion menghubungkan nama “Allah” dengan dewa bulan bangsa Babel. Bukti yang digunakan oleh Morey untuk mendukung teorinya adalah adanya penggunaan simbol bulan sabit di atas kubah masjid.

Morey lupa bahwa penggunaan simbol bulan sabit di kalangan Islam baru dimulai pada sekitar tahun 1453 oleh penguasa Otoman Turki, yaitu ketika Muhammad II berhasil merebut Konstantinopel. Pada waktu itu, simbol bulan sabit menjadi simbol Kerajaan Turki dan Islam. Lambang bintang baru ditambahkan oleh Sultan Selim III pada 1793, tetapi bintang dengan lima sudut baru disahkan pada 1844.

Sebelum digunakan oleh Turki dan Islam, lambang bulan sabit digunakan sebagai simbol keterbukaan dan kejayaan di Byzantium, sebab menurut tradisi, bulan pernah membantu Byzantium dari serangan Filipus dari Makedonia pada tahun 339 SM. Untuk mengenang kemenangan itu, rakyat kemudian mengadopsi simbol bulan sabit Dewi Diana menjadi simbol kota. Ketika kota itu menjadi Kristen pada tahun 330 M, simbol bulan sabit menjadi atribut bagi Perawan Maria.

Morey juga tidak menelusuri sejarah bahwa orang-orang Yahudi dan Kristen di Arab telah menggunakan nama Allah jauh sebelum Islam muncul. Dalam catatan sejarah Yahudi, bahasa Arab turut mempengaruhi bahasa Ibrani modern ketika dalam masa peralihan dari pengaruh abjad Samaria ke abjad Aramik. Kalangan Yahudi dan Kristen Arab menerjemahkan kata EL, Eloah, bahkan Elohim dengan kata Allah. Demikian juga terjemahan Syria untuk kata ALAHA yang digunakan Yesus dalam Markus 15:34.

Ketika Konsili Efesus digelar (431 M), nama seorang uskup di wilayah Arab Harits adalah Abd Allah (Hamba Allah). Sebuah prasasti kuno, yaitu prasasti Zabad, dari tahun 512 M bertuliskan “Bismillah” (dengan nama Allah) dilengkapi dengan tanda salib. Atau prasasti Umm al-Jimmal (abad ke-6) bertuliskan “Allahu Ghafran” (Allah yang mengampuni).

Di kalangan Yahudi, terkenal seorang Rabbi bernama Moshe ben Ma’imun. Dialah yang menuliskan buku Mishna di sinagoge Ben Ezra, Kairo, dalam Bahasa Ibrani dan Arab. Dalam tulisannya itu, Rabbi Moshe menerjemahkan kata “El” dan “Elohim” dengan kata “Allah.”

Umumnya orang-orang Islam, Kristen, dan Yahudi yang berbahasa Arab menggunakan kata Allah sebagai nama bagi TUHAN. Hal ini ditemukan dalam Tanakh dan Injil berbahasa Arab, dan dalam al-Qur’an.

Terjemahan Baru LAI

Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) dalam menerjemahkan Alkitab dari Bahasa Ibrani, Aram dan Yunani ke Bahasa Indonesia menerjemahkan hampir semua nama TUHAN ke dalam Bahasa Indonesia. Satu-satunya nama yang dipertahankan adalah “El-Roi” (baca: El-Ro’i) dalam Kejadian 16:13.

Nama “YHWH” diterjemahkan seperti yang dilakukan oleh Septuaginta (LXX). LXX menerjemahkan YHWH dengan kata “KURIOS” dan LAI pun mengikutinya—sebagaimana juga dilakukan oleh sebagian besar lembaga-lembaga alkitab lainnya di dunia—dengan menerjemahkan nama “YHWH” menjadi “TUHAN” (menggunakan huruf kapital semuanya; KJV menerjemahkan “LORD”). Sedangkan “El”, “Eloah”, “Elah” dan “Elohim” diterjemahkan “Allah” (LXX menerjemahkan “Theos”; KJV menerjemahkan “God”).

Kata “Adon” dan “Adonai” diterjemahkan “Tuhan” (hanya huruf pertama yang menggunakan huruf kapital).

Kesulitan yang dihadapi LAI adalah ketika ditemukan kata “Adonai YHWH” (misalnya dalam Kejadian 15:2,8; Yosua 7:7). LAI terpaksa menerjemahkan “Tuhan ALLAH” (KJV menerjemahkan Lord GOD), sebab tentunya akan mengalami kesulitan dalam membaca jika ayat ini diterjemahkan mengikuti kaidah lainnya menjadi “Tuhan TUHAN.”

LXX menerjemahkan kata “Adonai YHWH” dengan beragam bentuk: “despotes KURIOS” (Kejadian 15:2,8), “adonaie KURIOS” (Hakim-hakim 16:28), “KURIOS” (Yosua 7:7; dalam kitab Yehezkiel), dan “kurie mou kurie” (2Samuel 7:18-22, 28, 29).

Nama TUHAN dalam Liturgi Ibrani

Dalam 2Tawarikh 6:14 dan 15, dituliskan mengenai doa berkat Salomo dalam pentahbisan Bait Suci.

(14) “Ya YHWH, TUHAN Israel” (YHWH Elohe Yisra’el)—“tidak ada ilah seperti ENGKAU” (Ein-kamokha Elohim)

Bagian awal dari doa berkat Salomo (ay. 14,15) berisi pengudusan nama TUHAN (YHWH). Ini lazim dalam doa-doa Ibrani sebagaimana juga Doa BAPA Kami yang diajarkan Yesus.

Pengudusan nama TUHAN dalam doa berkat ditegaskan dalam Bilangan 6:27 “harus mereka meletakkan nama-KU (wesamu eth-shemi)... maka AKU akan memberkati mereka (wa’ani avarakhem)

Sebagaimana lazimnya sebuah doa resmi atau doa yang diucapkan dalam ibadah-ibadah umum dan upacara-upacara khusus, maka unsur-unsur kredo (syahadat) selalu ada di dalamnya. Sebab, doa bersama juga mengandung pengajaran bagi umat.

Karena itu, Salomo menekankan prinsip-prinsip iman mengenai TUHAN yang ia sembah:

1. YHWH ADALAH NAMANYA (band. ay. 16, 17, dan 19—band. juga Kolose 1:3; Q 29:46; 3:84)

Ini menegaskan kepada siapa doa itu ditujukan, sekaligus membedakan dengan ritual-ritual dan ilah-ilah bangsa lain (band. Keluaran 3:14,15; Mazmur 9:17; Matius 23:9; Mazmur 54:8; Keluaran 15:3; 1Raja-raja 18:24; Yesaya 42:8; 47:4; Yeremia 33:2; Mazmur 135:13).

Nama YHWH dihubungkan dengan perjanjian kekal antara TUHAN dengan umat-NYA, sebab nama YHWH mengandung makna kekekalan perjanjian itu sendiri.

Band. Kel. 3:14 “AKU ADALAH AKU” (Ehye Asher Ehye)

Kata EHYE (TB-LAI: “AKU”) dalam Bahasa Ibrani mengandung dua makna waktu, yaitu “sekarang” (present tense) dan “yang akan datang” (future tense).

Karena itu, dalam Complete Jewish Bible (CJB), kata EHYE diterjemahkan “AKU ADALAH” atau “AKU AKAN ADA.”

Pada kalimat selanjutnya, kata EHYE diterjemahkan “AKULAH AKU” untuk menegaskan bahwa YHWH adalah TUHAN Perjanjian, TUHAN yang tidak dipengaruhi oleh apapun juga dan yang ketetapan-NYA tidak dapat diubah oleh siapapun selain DIA.

2. IA ADALAH ESA (band. Galatia 3:20; Efesus 4:6; 1Timotius 2:5)

Prinsip monoteisme adalah prinsip iman yang utama dalam kredo Yahudi (band. Ulangan 6:4 dan penegasan Yesus dalam Markus 12:29).

Lihat juga Keluaran 8:10; Yesaya 40:25; Keluaran 34:14; 20:3; Yohanes 17:3.

3. DIA YANG MEMELIHARA “PERJANJIAN” (berith) DAN “KASIH SETIA” (khesed)

Dalam keseluruhan Perjanjian Lama, kata berith muncul sebanyak 285 kali, sedangkan kata khesed muncul sebanyak 249 kali (band. Kel. 15:13).

Yehi Shem YHWH Mevorakh!


TUHAN Menamai

TUHAN Menamai
Kejadian 1:5
Penciptaan dimulai dari suatu ‘ide’ dalam pikiran Elohim yang kita sebut ‘Davar’ (lihat SUKA edisi sebelumnya). Ide ini kemudian bermanifestasi melalui perkataan dan karya Elohim yang kita sebut ‘Amar.’

Ide awal yang ada dalam Davar Elohim adalah or (terang). Kita sudah membahasnya pada edisi sebelumnya. Namun, harus dipahami bahwa hari pertama dalam penciptaan tidak selesai sampai pada tataran ‘ide’ dan manifestasi semata. Penciptaan pada hari pertama diikuti dengan suatu proses berikutnya yang disebut badal (memisahkan).

Perhatikanlah Kejadian 1:4 “TUHAN melihat bahwa terang itu baik, lalu dipisahkan-Nyalah terang itu dari gelap.”

Dalam naskah Ibraninya, ayat ini berbunyi “Wayyare Elohim eth-ha’or ki-tov wayyavdel Elohim ben ha’or uven hakhoshekh.

Jika kita mencoba memahami maksud teks itu, terjemahan LAI sudah cukup mewakili makna yang hendak disampaikan dalam teks aslinya. Namun, tidak ada salahnya jika kita menggalinya lebih dalam.

Wayyare Elohim

Wayyare Elohim” (dan Elohim melihat). Dalam Bahasa Ibrani, kata wayyare berakar dari kata ra’a. Kata ini memiliki arti yang cukup luas: “menyetujui, memperhatikan, menyadari, dan sebagainya.” Ra’a tidaklah sekedar melihat begitu saja. Ra’a adalah suatu proses evaluasi yang tidak sekedar melibatkan penglihatan, tetapi juga perhitungan dan nalar.

Dalam gambaran sederhana, dapat diibaratkan ketika Anda melihat sebuah lukisan yang menarik menurut Anda. Yang terjadi sebetulnya bukan sekedar melihat, tetapi ada proses mengamati, memperhatikan dengan seksama, meneliti, mengevaluasi, dan akhirnya menyimpulkan. Semakin lama proses ini berlangsung dalam pikiran Anda, maka akan semakin baik kesimpulan yang Anda ambil.

Ketika Elohim menciptakan ‘terang,’ IA mengamati, memperhatikan, meneliti, mengevaluasi dan kemudian menyimpulkan. Artinya, Elohim telah memperhitungkan dengan nalar-NYA, yaitu yang kita sebut Davar, apa yang menjadi hasil ciptaan-NYA.

Namun, hal penting yang harus kita pahami di sini adalah penggunaan kata ra’a (melihat) kepada Elohim tidak bisa disamakan dengan penggunaan kata ra’a pada manusia. Ini hanyalah bentuk anthropomorfis atau cara penggambaran dengan menggunakan pengandaian manusia. Jadi, teks ini bukan mau mengatakan bahwa Elohim memiliki mata dan pikiran sama seperti manusia. IA tidak memiliki mata seperti manusia yang dapat membatasi jangkauan penglihatan-NYA, demikian juga IA tidak memiliki pikiran seperti manusia yang membutuhkan waktu untuk melakukan proses mengamati, memperhatikan, meneliti, mengevaluasi dan menyimpulkan.

Dalam narasi-narasi Perjanjian Lama (PL) berikutnya, kita akan menjumpai banyaknya penggambaran semacam ini. Mengapa? Jawabannya sederhana, sebab P menulis untuk manusia yang membutuhkan jawaban yang sederhana dan mudah dipahami. Di sisi lain, P berhadapan dengan berbagai filosofi kuno di sekitarnya yang juga membutuhkan jawaban atas peristiwa penciptaan alam semesta.

Akibatnya, naskah-naskah P, demikian juga sumber-sumber yang lain, menjadi suatu rangkaian tulisan yang menggabungkan antara pemahaman-pemahaman sederhana di antara pembacanya dengan pemahaman-pemahaman filosofis yang perlu ditafsirkan berdasarkan konteks ketika ia dituliskan.

Ha’or ki-tov

Eth ha’or ki-tov” (bahwa terang itu baik). Dalam contoh sederhana, naskah ini ibarat menceritakan bagaimana seseorang berhasil menyelesaikan tugasnya dan menganggap bahwa tugas yang ia lakukan itu baik. Jadi, “baik” di sini memiliki pengertian yang luas. Ia bisa diartikan sukses, sesuai rencana, menarik, indah, tanpa cacat, dan sebagainya.

Ketika seseorang menilai bahwa apa yang ia kerjakan itu “baik,” maka yang perlu kita ketahui bahwa penilaian itu adalah penilaian pribadi. Artinya, ia tidak memberi penilaian berdasarkan pendapat orang lain. Demikian juga dengan penciptaan terang oleh Elohim. IA menilai bahwa terang itu baik menurut ukuran-NYA. Penilaian ini melengkapi proses penciptaan dengan suatu pujian dari Sang Pencipta itu sendiri. IA menghargai hasil karya-NYA sendiri. Karya itu “baik” di “mata” Elohim, mengandung arti bahwa karya itu “baik” karena Elohim menerimanya dan menghargainya.

Nampaknya ini bukanlah karakteristik yang hanya dimiliki oleh P. Berdasarkan penelitian para ahli sejarah, model penceritaan seperti ini juga muncul di antara cerita-cerita penciptaan bangsa Sumeria. Cerita-cerita yang sama berkembang luas di antara masyarakat Semit lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa cerita ini adalah suatu bentuk pengadopsian dari tradisi yang ada dan berkembang pada waktu itu.

P mengadopsinya dengan sangat baik dan mendandaninya dengan unsur-unsur teologis yang sangat kental dengan semangat monotestiknya. Alhasil, ketika mitos purba bercerita tentang pujian para dewa atas hasil ciptaan mereka, P dengan berani menyatakan bahwa hanya ada satu Pencipta. Dialah yang mencipta, mengevaluasi, memberi nilai, dan akhirnya memuji karya-NYA.

Badal

Kalimat terakhir dari ayat 4 ini berbunyi “wayyavdel Elohim ben ha’or uven hakhoshekh” (dan Elohim memisahkan terang itu dari gelap/kegelapan). Kata wayyavdel berakar dari kata badal, yang artinya “memisahkan” atau “membedakan.”

Mereka yang menolak konsep penciptaan versi Alkitab sering menjadikan ayat ini sebagai argumen untuk penolakan yang mereka lakukan. Menurut mereka, Alkitab pernah berasumsi bahwa terang dan gelap adalah dua hal yang awalnya menyatu. Jadi, ketika Elohim menciptakan terang, pada saat yang sama IA menciptakan gelap. Keduanya adalah satu paket dan satu kesatuan. Di sinilah letak kesalahan Alkitab dalam melukiskan alam semesta, demikian argumen mereka.

Beberapa penafsir Kristen, termasuk John Gill dalam John Gill’s Exposition of the Entire Bible, bersikeras bahwa pada awal penciptaan, terang dan gelap adalah dua hal yang menyatu. Dengan cara apa terang itu bisa memisahkan diri dengan gelap, itu adalah persoalan lain. Jawaban itu hanya ada pada Elohim, dan manusia tidak akan pernah menemukan jawaban atas pertanyaan itu. Demikian dikatakan Gill.

Penafsir lain mengatakan bahwa sebelum Elohim menciptakan terang, kegelapan itu sudah ada. Dalam ayat 2 dengan jelas dikatakan bahwa pada waktu itu, gelap gulita menutupi thehom. Justru, kehadiran terang itu adalah untuk menerangi kegelapan. Maka, muncullah pertanyaan lain terhadap model pemikiran ini, “Siapa yang menciptakan gelap?”

Jika gelap gulita telah ada sebelum penciptaan hari pertama, berarti ada yang menciptakan kegelapan itu. Ia tidak mungkin ada tanpa ada penyebabnya. Thomas Aquinas mengatakan bahwa pembuktian sederhana akan keberadaan TUHAN adalah dengan melihat alam semesta. Menurut Aquinas, alam semesta ini memiliki penggerak yang tidak digerakkan oleh apapun. Itulah TUHAN. Segala sesuatu bersumber dari-NYA. Bagaimana dengan kegelapan?

Kegelapan rupanya merupakan dimensi lain yang tidak diperhitungkan oleh P. Ia memulai cerita penciptaan dengan penciptaan terang, sementara pada bagian awal ia telah lebih dulu berbicara tentang kegelapan dalam suatu dunia yang ia sebut thehom. Kini, jika kita ingin mendapatkan jawaban atas pertanyaan, “dari mana kegelapan itu berasal?” dan “siapa pencipta thehom?” maka kita tidak akan menemukan jawabannya pada naskah P ini.

Problemnya tidaklah sesederhana yang kita bayangkan, kegelapan selalu diidentikkan dengan kejahatan dan kekacauan (baca: chaos), maka, jika ia berasal dari Elohim, akan muncul persoalan bagaimana mungkin IA menciptakan kejahatan dan kekacauan? Sementara, jika ia berasal bukan dari Elohim, maka siapa yang menciptakannya? Apakah ada pencipta lain di luar Elohim yang telah menciptakan kejahatan dan kekacauan sebelum Elohim menciptakan shamayim dan erets?

Jawaban atas pertanyaan ini terletak pada penafsiran kita terhadap kata khosekh. Pada ayat 2, khosekh merupakan suatu istilah simbolis untuk menunjukkan kekosongan atau ketiadaan. Ini untuk menggambarkan bahwa sebelum Elohim menciptakan segala sesuatu, hanya DIA-lah yang eksis, tidak ada yang lain.

Pada ayat 4, khosekh harus dilihat sebagai fenomena alam. Ia digunakan untuk menamakan bagian lain di luar or (terang), yang dapat dilihat oleh manusia. Jadi, kesatuan yang disebutkan oleh Gill barangkali menunjukkan kesatuan kumpulan, dimana di dalamnya terdapat terang dan gelap. Artinya, ketika Elohim menciptakan terang, IA juga menciptakan kegelapan, hanya saja kegelapan belum memiliki nama atau sebutan. Baik terang maupun gelap, sama-sama disebut or.

Untuk itu, agar dua fenomena alam ini dapat dikenali manusia dengan lebih baik, maka muncullah pemisahan dalam pengertian pemberian nama dan penentuan waktu. “Pemisahan” antara terang dan gelap pada ayat ini adalah “pemisahan” dalam makna “pengaturan.”

Elohim menghendaki ciptaan-NYA berjalan secara teratur dalam rancangan-NYA. IA tidak menghendaki adanya kekacauan seperti digambarkan pada ayat 2. Jadi, hal lain yang penting untuk kita maknai dari proses penciptaan adalah “keteraturan” atau “keseimbangan.” IA menciptakan keseimbangan di dunia ini, dan keseimbangan itulah yang harus dijaga oleh manusia [oyr79].

TUHAN Menamai

TUHAN Menamai
Kejadian 1:5
Oleh: Yosi Rorimpandei
“Apalah arti sebuah nama” demikianlah William Shakespeare, sang pujangga Inggris, pernah menulis. Namun, ungkapan ini bukanlah ungkapan yang berlaku di kalangan Semitik, sebab dalam kultur Semit, “nama” justru memiliki arti penting bagi si pemberi nama dan bagi yang dinamakan.
Kejadian 1:5, yang menjadi bahan eksplorasi kali ini, menunjukkan betapa pentingnya arti sebuah “nama” bagi penulis kitab Kejadian dan bagi kultur yang diwakilinya. Naskah ini sekaligus untuk menunjukkan bahwa “menamai” (yiqra, Ibr.) adalah suatu tugas ilahiah yang diemban manusia. Sebab, dengan “menamai,” manusia telah menunjukkan bagaimana melekatnya dia dengan TUHAN, Sang Pencipta. Dengan “menamai” juga, manusia mengukuhkan dirinya sebagai gambar (tselem, Ibr.) dan rupa (demuth, Ibr.) TUHAN, atau yang lebih populer di kalangan Kristen sebagai imago Dei (Lat.).

Berdasarkan teori empat sumber, yang menjadi pegangan kita dalam eksplorasi naskah-naskah Tora (Taurat), Kejadian 1:5 ini masih merupakan bagian dari karya yang berasal dari sumber P. Bagi P, “menamai” merupakan bagian yang sangat penting, dimana melalui proses “menamai” juga terkait konsep “memisahkan”.

Apabila kita mencermati proses penciptaan dalam naskah P, setiap babak penciptaan, proses “menamai” dan “memisahkan” adalah puncak suatu babak sebelum masuk ke babak berikutnya. Artinya, jika kita ingin memahami makna suatu “penciptaan,” kita tidak bisa berhenti sampai pada proses “mencipta” itu sendiri. Proses-proses yang mengikutinya adalah proses-proses yang tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu kesatuan utuh dengan proses “mencipta.”

Perhatikan apa yang sudah kita bahas sebelumnya! Penciptaan hari pertama diawali dengan penciptaan terang, kemudian disusul dengan pemisahan antara terang dan gelap, diakhiri dengan penamaan setiap elemen ciptaan. Karena itu, sebagaimana telah dibahas sebelumnya, penciptaan hari pertama bukanlah sebatas penciptaan terang, bukan juga penciptaan siang dan malam. Semuanya merupakan suatu rangkaian proses yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya.

Menurut tradisi Semitik, penamaan adalah bagian yang tak terpisahkan dengan penciptaan sejak awal. Dengan kata lain, “menamai” paralel dengan “menciptakan”, sebagaimana juga kita temukan dalam naskah-naskah kuno lainnya di luar Alkitab, semisal Enuma Elish di Mesopotamia.

“Menamai” dan “menciptakan” dikatakan paralel dapat dijelaskan dengan identiknya nama dan yang dinamakan. Itulah sebabnya, pemberian nama dalam budaya Semitik sangatlah penting, termasuk perubahan nama, seperti dialami oleh Abraham, Sara, Yakub, dan sejumlah leluhur Israel. Pengaruh budaya ini terpelihara dengan sangat baik dalam dunia Yudais, sehingga pemberian nama Yesus pun tidak lepas dari pengaruh ini. Demikian juga dalam kasus Simon yang oleh Yesus diberi nama Kefas atau Petrus.

Namun, menamai bukan sekedar menunjukkan karakter yang dinamai. Menamai, dalam tradisi Semitik juga menunjukkan kuasa dari si pemberi nama atas apa yang dinamai. Itulah sebabnya dalam 2Raja-raja 23:34 dan 24:17, Firaun dan raja-raja Babel memberi nama kepada raja-raja yang mereka taklukkan.

Dengan demikian, menamai memiliki dua makna teologis: pertama, untuk menunjukkan identitas dari apa yang dinamakan, sekaligus menunjukkan tujuan penciptaannya; dan kedua, untuk menunjukkan bahwa si pemberi nama berkuasa atas apa yang dinamakan.

TUHAN, dalam ayat ini, dikatakan “menamai” terang dan gelap. Ada dua hal yang sangat penting dalam bagian ini: Pertama, untuk menunjukkan bahwa TUHAN memiliki kekuasaan, baik atas terang maupun gelap. Artinya, bukan hanya terang yang berada dalam kuasa TUHAN, melainkan juga gelap. Gelap bukanlah dimensi lain yang terlepas dari proses penciptaan itu, sehingga teori yang mengatakan bahwa kegelapan berada di luar kuasa TUHAN adalah teori yang bertentangan dengan konsep pemikiran P.

Kedua, inisiatif “menamai” (yiqra, Ibr.) adalah inisiatif yang pertama kali berasal dari TUHAN. Memberi nama adalah salah satu tugas ilahi yang kemudian diembankan kepada manusia sebagai imago Dei.

Petang dan Pagi

“Jadilah petang dan jadilah pagi” (wayehi-‘erev wayehi-voqer) adalah kalimat yang selalu menutup setiap babak penciptaan. Bagi beberapa penafsir Perjanjian Lama (PL) seperti H. R. Stroes, kalimat ini untuk menunjukkan bahwa permulaan hari itu adalah pada petang atau pagi hari.

Almanak Gregorian atau Kalender Masehi memulai harinya pada pagi hari, sedangkan almanak Ibrani memulai harinya pada petang hari. Menurut Stroes, kalimat ini mengungkapkan bahwa tidak ada perhitungan hari yang dimulai pada siang atau malam hari.

Namun, pendapat ini tidak banyak diterima. Pada kenyataannya kalender Romawi memulai perhitungannya pada tengah malam. Lagipula, tidaklah relevan untuk menggunakan pemahaman itu dalam memahami maksud penulisan naskah ini oleh P. Ini hanyalah petunjuk waktu bagi P sekaligus untuk menciptakan model paralel antar babak penciptaan yang memang khas dalam sastra Ibrani.

Penyebutan petang (‘erev) sebelum pagi (boqer) mendapat pengaruh dari perhitungan hari dalam tradisi Yudaisme. Secara filosofis-teologis, perhitungan semacam ini untuk menunjukkan arah tujuan hidup manusia, bahwa manusia bergerak dari kegelapan menuju terang, bukan sebaliknya (sebagaimana perhitungan kalender masehi yang kini kita gunakan).

Makna filosofis-teologis ini sekaligus untuk menunjukkan periode penciptaan yang dimulai dari periode chaos kepada periode harmonis. Sayangnya, filosofi yang sangat identik dengan makna ekklesia (gereja/jemaat) ini tidak dipertahankan oleh kekristenan modern, yang akibat terlalu akrab bercengkerama dengan budaya Romawi-Hellenis, sehingga menguburkan tradisi asalnya.

Hari

Pertanyaan yang selalu muncul antara para saintis dan teolog adalah apakah dunia ini diciptakan dalam tujuh hari? Dalam dunia sains, teori mengenai asal-usul dunia dan kehidupan telah berkembang dalam beragam teori, sementara, para teolog tidak punya sumber lain untuk menyusun teori baru soal penciptaan, selain tunduk pada apa kata alkitab.

Jalan alternatif yang coba ditempuh adalah mengaitkan kata “hari” (yom, Ibr.) dengan kata yang sama dalam Mazmur 90:4, dimana satu hari sama dengan seribu tahun. Pandangan ini sangat terkenal di kalangan Qabbala Yahudi. Menurut mereka, proses penciptaan terjadi dalam tujuh ribu tahun. Apakah betul penciptaan hanya terjadi dalam tujuh ribu tahun?

Payne Smith dalam tafsirnya terhadap kitab Kejadian berpendapat lain. Menurutnya, yom tidaklah merujuk pada periode dua puluh empat jam, melainkan menunjukkan suatu aeon, yaitu periode waktu yang indefinitif (tak tentu atau tak terbatas). Dengan demikian, menurut Smith, hari ketujuh merujuk pada periode sekarang dan akan terus berlangsung sampai pada kesudahan dunia, dimana manusia telah mengonsumsi semua materi.

Pandangan ini sangatlah populer, baik di kalangan Yahudi maupun Kristen. Namun, pandangan ini terlalu dipaksakan. Smith seakan-akan mau mengatakan bahwa periode sekarang adalah periode bagi TUHAN untuk beristirahat dan mengabaikan pandangan yang mengatakan bahwa proses pembentukan bumi masih terus berlangsung hingga kini.

Jelas bahwa kita tidak bisa memaksakan teologi P untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sains, sebab P tidak menulis suatu karya ilmiah untuk dunia sains. P sedang menjawab kebutuhan teologis umat mengenai penciptaan dan dia membahasakannya dalam bahasa teologis. Kita harus memerhatikan bahwa P dengan jelas menggambarkan yom itu sebagai satu hari dalam perhitungan kalender dan penciptaan terjadi dalam satu minggu. Pandangan ini jelas, sebab P menggunakan petunjuk waktu yang jelas: ‘erev (petang) dan boqer (pagi).

Lalu, apakah kita dengan alasan agama kemudian harus mengabaikan temuan-temuan sains dan memaksakan diri untuk menerima apa adanya kata alkitab? Tidak juga! P tidak sedang berbicara tentang asal-usul dunia secara kronologis dan ditail. Intinya, ia sedang mengungkapkan suatu teologi dasar bahwa dunia ini diciptakan TUHAN dalam suatu proses yang teratur. Setiap proses memiliki makna tersendiri bagi kehidupan umat. Karena itu, hendaknya umat mengucap syukur atas ciptaan TUHAN yang luar biasa ini dan menghargainya serta mengusahakannya secara bertanggung jawab.

Bagaimana dengan urutannya? P tidak menggunakan urutan kronologis, melainkan urutan liturgis yang menjadi tanda bagi umat untuk memaknai hidupnya dalam suatu ungkapan syukur dan refleksi diri.

Pertama

Teks Ibrani menggunakan kata ekhad, yang seharusnya diartikan “satu” bukan “pertama.” Kata ekhad dalam bahasa Ibrani merupakan bilangan kardinal (satu), bukan bilangan ordinal (pertama). Para penerjemah Alkitab menerjemahkan “pertama” karena hari kedua hingga ketujuh menggunakan bilangan ordinal.

Bagi para rabbi Yahudi, penggunaan bilangan kardinal tidak sekedar untuk menunjukkan urutan waktu, tetapi juga untuk memaknai hari itu. Menurut mereka, “hari satu” atau “hari yang satu” untuk menegaskan bahwa TUHAN sendiri yang menciptakan dunia ini.

Rabbi Naftali Silberberg, seorang pakar Talmud dari Amerika Serikat, mengutip penjelasan dari Talmud Khagiga 12a, mengatakan bahwa TUHAN telah menciptakan segala sesuatu pada hari pertama. Hari-hari selanjutnya, TUHAN hanya menata semua yang telah IA ciptakan. Ia mencontohkan matahari dan bulan. Menurutnya, matahari dan bulan telah diciptakan pada hari pertama, namun, baru diletakkan pada orbitnya pada hari keempat.

Dalam pemaknaan yang lebih dalam, para penafsir seperti Wenham melihat pada bentuk kesejajaran teks

1 - 4

2 - 5

3 - 6

7

Hari pertama sejajar dengan hari keempat. Inti hari pertama adalah “terang” dan inti hari keempat adalah “benda penerang.” Hari pertama, TUHAN memisahkan terang (siang) dan gelap (malam). Hari keempat, TUHAN menciptakan benda-benda angkasa yang memisahkan terang (siang) dan gelap (malam).

Wenham mengaitkan hal ini dengan liturgi Yahudi, dimana hari ketujuh merupakan hari untuk beristirahat penuh. Penjelasan Wenham cukup logis, mengingat naskah-naskah P sangat kaya dengan penjelasan mengenai asal-usul liturgi Yahudi [oyr79]


Gembala-gembala di Padang

Cerita mengenai para gembala di padang menjadi salah satu peristiwa yang selalu mewarnai perayaan Natal di berbagai gereja. Lukas memang menyajikan cerita ini dengan sangat baik. Namun, harus kita ingat bahwa Lukas tidak pernah menuliskan suatu cerita yang lepas dari tujuan penulisan kitabnya.

Cerita ini, di samping memberi kita data tambahan untuk kelengkapan historis, khususnya mengenai kapan Yesus lahir, juga menambah narasi doksologi dengan kelahiran Sang Juruselamat. Lukas, tanpa kehilangan karakteristiknya, berusaha menggambarkan bagaimana TUHAN menyapa realitas sosial yang sebelumnya tidak disapa lagi oleh agama, khususnya orang-orang yang merasa beragama.

Dalam narasi ini, Lukas menampilkan bagaimana para gembala yang selama ini menggembalakan hewan-hewan kurban, kini menerima kabar gembira atas lahirnya Gembala Agung, sekaligus Kurban Suci itu sendiri.

Di Daerah Itu...

En te khora te aute” bisa juga diartikan “di daerah atau wilayah yang sama”, yaitu di daerah atau wilayah Yudea, di sekitar Betlehem (Luk. 2:4). Betlehem disebut “Kota Daud”, sebab Daud berasal dari sana (1Sam. 17:12). Dalam Bahasa Ibrani, kata “Betlehem” (Beth Lekhem) berarti “Rumah Roti” dan merupakan salah satu kota tua di Palestina.

Meskipun Daud berasal dari Betlehem dan sangat mengasihi kota itu (2Sam. 23:15), namun Daud tidak melakukan apa-apa terhadap kota itu. Betlehem sendiri termasuk kota yang tidak begitu diperhitungkan di kalangan umat Yahudi pada zaman Perjanjian Lama. Meski demikian, Nabi Mikha menubuatkan kelahiran Mesias dari kota kecil itu (Mi. 5:2).

Betlehem adalah kota yang subur. Di sana terdapat padang rumput, sehingga memungkinkan para gembala untuk menggembalakan ternak mereka. Di sana juga terdapat padang Yaar (Mzm. 132:6) yang kaya akan pepohonan, serta menara Edar (Migdal-Edar) sebagai bukti bahwa di sana merupakan tempat yang baik untuk menggembalakan ternak (Kej. 35:21). Di kota inilah Daud menggembalakan domba ayahnya (1Sam. 17:15).

Gembala-gembala di Padang...

Di dalam Mishna disebutkan bahwa domba-domba dari Betlehem diperuntukkan sebagai kurban dalam ibadah-ibadah di Bait Suci. Karena itu, para gembala (poimenes) yang menjaga kawanan domba di sana bukanlah gembala biasa. Mereka bukanlah gembala-gembala yang dianggap sebagai masyarakat kelas dua dalam struktur sosial Yahudi pada waktu itu. Mereka adalah gembala-gembala yang dihormati.

Memang dalam tradisi Yahudi kemudian, mereka termasuk dalam kelompok yang disingkirkan dalam tradisi keagamaan Yahudi oleh para Rabbi. Mereka disingkirkan lantaran sikap mereka yang cenderung mengasingkan diri dari peraturan-peraturan agama.

Beberapa seniman sering menggambarkan gembala-gembala itu di tengah padang di malam hari hanya dilindungi dengan pakaian mereka. Namun, dalam masyarakat Yudea pada waktu itu, biasanya gembala-gembala tinggal di kemah-kemah atau pondok-pondok selama mereka menjaga kawanan domba. Sesekali mereka keluar untuk memastikan bahwa kawanan domba mereka dalam keadaan baik.

Dari Mishna yang sama dikatakan bahwa kawanan domba itu mulai berada di sana tiga puluh hari sebelum Paskah Yahudi, yaitu pada bulan Adar menurut kalender Ibrani (sekitar bulan Maret dalam kelender Masehi). Pada waktu itu, Palestina mulai memasuki musim penghujan.

Pada bulan Kheshwan (sekitar bulan November), kawanan domba itu dibawa pulang dari padang. Artinya, para gembala dan kawanan domba itu berada di padang antara bulan Adar sampai Kheshwan atau sekitar bulan Maret sampai November. Clement dari Aleksandria mengatakan bahwa kelahiran Yesus (Natal) terjadi pada tanggal 21 April, sementara pendapat lain mengatakan 22 April. Ada juga yang mengatakan bahwa Natal seharusnya dirayakan pada 20 Mei.

Gereja Katolik, Protestan, dan beberapa Gereja Ortodoks merayakan Natal pada 25 Desember, sedangkan Gereja Ortodoks Koptik, Yerusalem, Rusia, Serbia, dan Georgia, merayakan Natal pada 7 Januari. Gereja Armenia justru lebih menekankan pada peristiwa Epifania (kedatangan orang majus) ketimbang Natal.

Banyak upaya untuk mempertahankan agar Natal tetap diperingati pada tanggal 25 Desember, termasuk oleh Hippolytus yang mendasarkan perhitungannya pada masa pemerintahan kaisar Augustus.

Namun, tanggal 25 Desember, dalam kalender Ibrani bertepatan dengan bulan Kislew dan Teveth dalam kelender Ibrani. Pada bulan ini, Palestina berada pada musim dingin. Tidak ada bukti historis yang mendukung bahwa para gembala tetap berada di padang pada musim dingin, apalagi di malam hari.

Adanya upaya di kalangan gereja tertentu untuk mencari tanggal yang lebih tepat untuk merayakan Natal dapat diterima sebagai suatu kewajaran. Namun, upaya-upaya itu pun hanya akan memunculkan kebingungan dan polemik yang tidak esensial. Pada kenyataannya, perhitungan kalender Masehi mengalami masalah sehingga mengharuskan ditambahkannya satu hari untuk bulan Februari setiap empat tahun (kabisat).

Setelah diperhitungkan kembali, para ahli akhirnya menyimpulkan bahwa Yesus lahir sebelum tahun Masehi. Dengan demikian, sia-sialah mencocok-cocokkan kalender Masehi dengan tanggal kelahiran Yesus yang sebenarnya. Masalah yang sama terjadi dalam penanggalan Ibrani.

Kelender Ibrani berdasar pada tiga fenomena astronomi: rotasi bumi (sehari), revolusi bulan atas bumi (sebulan), dan revolusi bumi atas matahari (setahun). Ketiganya tidak saling berhubungan. Rata-rata bulan berputar mengitari bumi dalam 29½ hari, sedangkan bumi mengitari matahari sekitar 365¼ hari atau 12,4 bulan lunar. Karenanya, untuk mendapatkan jumlah yang tepat, maka jumlah hari dalam sebulan kalender Ibrani adalah 29 atau 30 hari sesuai perputaran bulan, sedangkan jumlah bulan dalam setahun kalender Ibrani adalah 12 atau 13 bulan sesuai perputaran matahari, dimana tahun dengan jumlah bulan 13, disebut Shana Me’ubereth (Tahun Hamil) atau kabisat dalam istilah Indonesia.

Masalah utama dalam kalender Ibrani adalah perhitungan 12,4 bulan dalam satu tahun matahari. Artinya, jika setahun dihitung 12 bulan, kalender mengalami kekurangan sekitar 11 hari setiap tahunnya, sedangkan jika dihitung 13 bulan, maka kalender akan mengalami kelebihan 19 hari dalam setahun. Akibatnya, bulan yang seharusnya jatuh pada musim semi, karena kesalahan perhitungan dapat jatuh pada musim dingin.

Menghadapi problem ini, pada zaman dahulu, Sanhedrin menetapkan bahwa Paskah Yahudi jatuh pada musim semi. Artinya, jika dalam setahun, Paskah tidak jatuh pada musim semi, maka Sanhedrin akan menambahkan satu bulan dalam setahun. Model perhitungan ini bertahan sampai abad keempat masehi. Dengan demikian, kita tetap akan menemukan kesulitan melacak kelahiran Yesus berdasarkan kalender Ibrani.

Kalender Ibrani baru menemukan bentuknya yang tepat pada abad keempat, ketika Hillel II menetapkan kalender Ibrani berdasakan perhitungan matematika dan astronomi. Perhitungan Hillel II adalah dengan menambahkan bulan Adar menjadi dua, yaitu I Adar dan II Adar. Penambahan satu bulan dilakukan pada tahun ke-3, 6, 8, 11, 14, 17, dan 19 dalam satu putaran (19 tahun).

Pada Waktu Malam...

Yesus lahir pada waktu malam. Puncak karya penebusan pun terjadi pada waktu malam. Berdasarkan tradisi Yahudi, Mesias datang di tengah malam. Dengan demikian, narasi ini menggenapi setiap nubuatan dalam Perjanjian Lama, bahwa Mesias akan lahir di Betlehem Efrata, Kota Daud, di malam hari [oyr79]

Keesaan TUHAN

Keimanan agama Kristen berakar-tumbuh dan berkembang dari agama Yahudi, di mana memiliki keyakinan monoteisme yang ketat, suatu kewajiban umat Perjanjian Lama (PL) mengucapkan syahadat (pengakuan iman)-nya, yang di sebut shema’ i) (Ul. 6:4; 1 Tim. 2:5; Yoh. 17:3).

Taurat mengawal monoteisme

Kemurnian keimanan itu dipertegas dalam Tenakh (PL); jangan mempersekutukan TUHAN dengan apapun (Kel. 20:3-5a; Yes. 44:6b; 45:5a, 6b; 46:9c)

TUHAN itu Roh

YHWH itu Esaii, yang kita sapa dengan sebutan "Bapa", yang tidak berwujud – tidak beraga – tidak berjasmaniah – karena YHWH itu Roh – Ghaib – Terang. Tidak ada persamaan-NYA – tidak ada yang menyamai-NYA – tidak ada bandingan-NYA – tidak ada tandingan-NYA – tidak ada sandingan-NYA – tidak ada yang serupa dengan Dia.

YHWH Maha Hadir (omnipresent), Maha Kuasa (omnipotent), Maha Tahu (omniscient), tidak terbatas (infinitas), melampaui batas (unlimited) (Mzm. 139:7-8)

(Yes. 46:5 band. Yoh. 4:24; 1Yoh. 1:5; Hos. 11:9; Yes. 46:9; 1Kor. 8:6; 2Kor. 3:17-18; Mrk. 12:29; Ayb. 9:11; Yoh. 6:46; 1Tim. 1:17; 6:16)

Kebagaimanaan Dzat dan Sifat YHWH Yang Sehakekat

YHWH Yang Maha Esa dalam Dzat-NYA atau Ousia dan berada dalam cara-cara berada-NYA atau "kebagaimanaan" YHWH itu disebut hypostasis atau "Sifat"-NYAiii. Dalam keesaan dan kekekalan YHWH sudah memiliki Roh (Pneuma tou Hagiou) dan Firman (Logos tou Theou) (lihat Kej. 1:1-3)

Roh dan Firman berada di dalam Dzat-NYA dalam kekekalan dan keesaan, yang sehakekat (homoousios) – sederajat dan melekativ (Yoh. 1:1)

TUHAN Kekal

Roh dan Firman tidak diciptakan oleh YHWH. Sudah ada dalam kekekalan dan keesaan YHWH. Dua sifat mutlak di dalam diri YHWH, harus ada – wajib ada – mustahil tidak ada (Kej. 21:33; Ayb. 36:26; Yes. 26:4; 40:28)

TUHAN itu Hidup

Kalau Roh dan Firman diciptakan oleh YHWH, berarti YHWH sempat tidak punya Roh dan Firman (Maha Suci YHWH dari segala kekurangan), bagaimana YHWH yang tidak punya Roh bisa menciptakan roh yang menghidupkan, atau kalau tidak punya firman, dengan firman apa YHWH menciptakan Firman (Segala sesuatu dijadikan oleh firman) (Tulisan, perkataan, dan nyala api). Kita menentang pendapat Arius dan kamu Nestorian yang menyatakan "Pernah ada waktu Firman belum ada"
(Yos. 3:10; Ul. 32:40; Yer. 10:10)

Kesehakekatan Dzat dan Sifat

Dzat dan Sifat dapat dibedakan, tetapi sekaligus tidak bisa dibedakan.

Sifat itu bukan Dzat tetapi bukan juga bukan Dzat

1. En arkhe en ho logos – Firman YHWH sebagai eksistensi kekekalan di dalam YHWH. Satu dengan YHWH di dalam Dzat-NYA

2. Kai ho Logos en pros ton Theon – "bersama-sama" (pros) menunjukkan perbedaan antara Firman sebagai Sifat dengan YHWH sebagai Dzat – lebih menunjukkan kebagaimanaan YHWH itu – atau cara keberadaan-NYA

3. Kai Theos en ho Logos – menyatakan kehadiran Firman-NYA itu bukan hanya berasal dari YHWH, tetapi juga menunjukkan kesatuan-NYA sehakekat dengan YHWH dan melekat dalam Dzat YHWH itu sendiri (qaimah)

PERJANJIAN LAMA

Abraham ~ Monoteisme Keluarga

Abraham berasa dari Ur-Kasdim. Suatu wilayah di Mesopotamia kuno yang menganut paham politeisme. Ayahnya, Terah, adalah seorang pengembara yang membawa Abraham ke Haran (Kej. 11:31)

Awal pergumulan Abraham adalah ketika ia memutuskan untuk pergi dari Haran ke suatu tempat yang tidak ia ketahui. Keputusan itu merupakan bukti awal ketaatan Abram kepada TUHAN Yang Esa (Kej. 12)

Abraham sudah mengenal ‘YHWH’. Namun, Nama El lebih berpengaruh baginya.
El memperkenalkan Diri-NYA sebagai El Shaddai (TUHAN Yang Maha Kuasa), Abraham juga memberi nama Yisma’el (El mendengar).

El merupakan nama umum bagi Tuhan di dunia Semitik (bandingkan Il dalam Bahasa Arab). Nama inilah yang paling tua yang dikenal dalam sejarah Israel (Kej. 12:8; 17:1)

Monoteisme Abraham selain merupakan pergumulan teologisnya juga bersumber dari luar. Ia menerima berkat dari seorang raja Salem, imam El ‘Elyon (TUHAN Yang Maha Tinggi). Seorang yang juga monoteis, sehingga Abraham memberikan persepuluhan (ma’aser) (Kej. 14:18-20). Namanya diubah dari Abram (Bapak Tertinggi) menjadi Abraham (Bapak Orang Beriman) sebagai tanda perjanjian El, disamping sunat (mul) (Kej. 17:5, 11)

Perjanjian antara El dengan Abraham menjadi perjanjian kekal antara Abraham dan keturunannya : hegim berith dan asher karat (Kej. 17:4-8)

Elohe Avraham

Kepada keturunannya, El Yang Esa itu diperkenalkan sebagai Elohe Avraham
(TUHAN Abraham) (Kej. 28:13; 31:42; 31:53; Kel. 3:6; 3:15,16; 4:5; 1Raj. 18:36; 1Taw. 29:18; 2Taw. 30:6; Mzm. 47:9)

Rumusan ini diakui Perjanjian baru (PB)

Rumusan Elohe Avraham, Elohe Yitskhaq, dan Elohe Ya’aqov berlangsung menjadi pengakuan iman yang semestinya dipelihara sampai pada umat PB (Mrk. 12:26; Kis. 7:32)

Musa ~ Monoteisme Bangsa

Musa mempelajari berbagai pengetahuan (termasuk agama) dari ibunya (suku Lewi), yang merawat Musa selama di Mesir, di Istana Firaun (Mesir), dan dari Yitro, mertuanya, seorang imam suku Keni, Midian. Yitro pernah mengutus Musa dengan berkat Midian. Yitro juga mengenal YHWH (Kel. 2:1-10; 2:16, 23; 3:1; 4:18; 18:1-27)

Perkenalan Musa dengan TUHAN menggunakan nama El. Namun, Musa kemudian lebih memelihara nama YHWH, meskipun YHWH masih dianggap sebagai Tuhan bangsa, yaitu TUHAN orang Ibrani (YHWH, Elohe Ha’ivriyyim), TUHAN Israel (YHWH, Elohe Yis’rael)

Nama YHWH dianggap sebagai bentuk singkat dari nama Ehye Asher Ehye (AKU ADALAH AKU); YHWH adalah El yang disembah oleh Abraham, Ishak, dan yakub. Namun, nama ini menjadi sangat khas mulai dari zaman Musa, dengan konsep: Aku Ada, Aku Berada, dan Aku Bekerja.

Nama YHWH memiliki peran signifikan dalam misi Musa membangun Israel. Menurut Ilil Arbel, ketika Musa membawa Israel keluar dari Mesir, setiap suku Israel memiliki panji sendiri-sendiri yang mengilustrasikan tentang Tuhannya. Nama YHWH diperkenalkan kepada Israel untuk menyatukan keberagamaan panji itu [Ilil Arbel, "Yahweh" dalam Encyclopedia Mythica] (Kel. 3:6; 3:14-15; 5:1, 3; 7:16; 9:1, 13; 10:3; 32:27; 34:23; Bil. 16:9) -- "Dengarlah Israel, YHWH itu Tuhan kita, YHWH itu Esa!" (Ul. 6:4)

Yesaya ~ Monoteisme Universal (Monoteisme Dinamis)

Monoteisme Universal atau Monoteisme Dinamis lahir dari kesadaran akan adanya cinta YHWH kepada bangsa lain di luar Israel. Monoteisme model ini dipelopori oleh para nabi : Amos, Hosea, proto-Yesaya, Yeremia, dan nabi-nabi pasca pembuangan di Babel (Amos 1-2; 9:7, 11-15; Hos. 11:5; Mi. 4:1; Yer. 32:27). Kitab-kitab sastra juga menceritakan tentang YHWH yang mengasihi bangsa lain (Yunus & Rut)

YHWH itu Esa; YHWH itu kekal (Yes. 44:6; 45:5-6; 46:9)

PERJANJIAN BARU

Kristus dan Monoteisme

Yesus mengajarkan untuk menyembah YHWH Yang Esa (Mat. 4:10; Mrk. 12:29)

Endnotes:

i Baca uraian tentang Shema’ oleh Kaufmann Kohler (Kaufmann Kohler, "Shema’", dalam Jewish Encyclopedia

ii Band. Pengakuan Iman Rasuli, Pengakuan Iman Nikea-Konstantinopel, Pengakuan Iman Westminster, dlsb

iii Thomas Aquinas mengatakan "Bapa, Anak dan Roh Kudus adalah cara berada ilahi yang berdiri sendiri. Jadi yang dimaksud dengan persona adalah cara berada" (lihat Harun Hadiwijono, Iman Kristen, hlm. 109)—"persona" adalah terjemahan Latin untuk kata hypostasis

iv Dalam istilah lain dikatakan: co-equal dan co-eternal (sehakikat, satu tabiat, satu kekuatan, satu tindakan, dan satu kehendak)

Rujukan-rujukan yang disarankan:

Bavinck, Herman. Reformed Dogmatics: God and Creation, vol. 2

Catechism of The Catholic Church

Hadiwijono, Harun. Iman Kristen

Lohse, Bernhard. Pengantar Sejarah Dogma Kristen

Orr, James. The Christian View of God and The World

Pengakuan Iman Nikea (baca juga tambahan hasil Konsili Konstantinopel)

Pengakuan Iman Rasuli

Pengakuan Iman Westminster

Schaff, Philip. Creeds of the Evangelical Protestant Churches vol. III. (buku ini berisi kumpulan pengakuan iman dan katekismus mulai dari Konfesi Augsburg, 1530, hingga Proposal-proposal Presbyterian, 1930)

Strong, Augustus Hokins. Systematic Theology: The Doctrine of God (vol. I).


Tefilla Happatha dan Tefilla Abinu

Tefilla Happatha

Beshem Eloah Harakhman Harakhimim
Hodu la-YHWH Rabun Ha‘olamim
Harakhman Harakhimin, Melekh Yom Haddin
Elekha na‘bod Adonai le’orekh yamim
Neheni be’orakh mishor lehayyim
Lalekheth be’orakh hatstsadiqqim
Lo halakh be‘etsath risha‘im welo hassagim
Amen

Dengan Nama (Eloah - TUHAN) Maha Pengasih Maha Penyayang
(Ezra 5:1; Daniel 9:9)

Syukur kepada (YHWH - TUHAN), Penguasa semesta alam
(Liturgi Yahudi)

Maha Pengasih, Maha Penyayang, Raja Hari Pengadilan
(Terminologi Yahudi)

Kepada-Mulah kami beribadah, ya (TUHAN - Adonai), untuk selamanya
(Mazmur 30:9)

Bimbinglah kami senantiasa ke jalan yang lurus menuju kehidupan
(Mazmur 27:11)

yaitu menurut jalan orang-orang yang benar
(Ulangan 8:6)

Bukan menurut nasihat orang fasik dan bukan orang sesat
(Mazmur 9:21)

Amin

Tefilla Abinu

Abinu shebashshamayim
Yithqaddash shemekha
Tabo malkhuthekha
Ye‘ase retsonekha
Ka’asher bashshamayim gam-ba’arets
Eth-lekhem khuqenu ten-lanu hayyom
Umekhalanu ‘alkhobothenu
Ka’asher makhalnu gam-anakhnu lekhayyabenu
We’al-tebenu lide nissayon
Ki ’im-tekhaltsenu min-hara‘
[Ki lekha hammamlakha wehaggebura
Wehatif’ereth le‘olme ‘olamim
Amen]

BAPA kami yang di surga,
Dikuduskanlah nama-MU,
datanglah Kerajaan-MU,
jadilah kehendak-MU di bumi seperti di surga.
Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya
dan ampunilah kami akan kesalahan kami,
seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami;
dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan,
tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat.
[Karena ENGKAU-lah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan
sampai selama-lamanya.
Amin]

Matius 6:9b-13

HARI RAYA GEREJAWI

HARI RAYA GEREJAWI

Tahun Baru
1 Januari

* Perayaan tahun baru Masehi sekaligus perayaan ulang tahun (yom hulledeth) Kemah Abraham

Natal
25 Desember

* Perayaan kelahiran Yesus Kristus (Yeshu'a Hammashiakh). Perayaan Natal diselenggarakan secara berbeda-beda oleh banyak gereja. Gereja Apostolik Armenia misalnya merayakan Natal pada 6 Januari, sementara Gereja Ortodoks Timur merayakannya pada 7 Januari. Perbedaan perhitungan pada kalender Masehi disebabkan karena Yesus
(Yeshu'a Hammashiakh)dilahirkan sebelum kalender Masehi diadopsi oleh gereja.

Kemah Abraham menghargai setiap perbedaan tersebut, sebab masing-masing gereja memiliki landasan perhitungan yang berbeda. Penulis sendiri masih mengikuti usulan Origenes pada tahun 273 M, yang memilih 25 Desember sebagai "Hari Natal." Perayaan Natal pada 25 Desember kemudian diresmikan oleh Kaisar Konstantinus pada tahun 336 M.

Jumat Agung

* Peringatan wafatnya Yesus Kristus (Yeshu'a Hammashiakh). Perhitungan hari peringatan Jumat Agung berbeda setiap tahunnya dalam kalender Masehi, sebab Jumat Agung selalu jatuh pada hari Jumat, biasanya diperingati pada hari Jumat bertepatan dengan Yom Pesakh Ibrani. Kemah Abraham sendiri mengikuti perhitungan kalender gerejawi umum di Indonesia.

Paskah

* Peringatan kebangkitan Yesus Kristus (Yeshu'a Hammashiakh). Perhitungan kebangkitan Yesus Kristus juga berbeda setiap tahunnya dalam kalender Masehi.

Paskah berasal dari kata Pesakh (Ibrani) yang artinya "melewati." Perayaan Pesakh dalam tradisi Ibrani dilakukan pada 15 Nisan (menurut kalender Ibrani). Biasanya perhitungan hari perayaan Paskah bagi gereja menyesuaikan dengan Pesakh Ibrani. Perbedaannya, Paskah Kristen selalu jatuh pada hari Minggu, yang diyakini sebagai hari kebangkitan Yesus Kristus.

Kenaikan Yesus Kristus

* Peringatan terangkatnya Yesus Kristus (Yeshu'a Hammashiakh) ke surga. Perayaan ini dihitung 40 hari setelah Paskah.

Pentakosta

* Peringatan turunnya Roh Kudus (Ruakh Haqqodesh) kepada para rasul (thalmidim) sesuai janji Yesus Kristus (Yeshu'a Hammashiakh) sebelum Ia terangkat ke surga. Perayaan ini dihitung 50 hari setelah Paskah atau 10 hari setelah kenaikan Yesus Kristus.

HARI RAYA IBRANI

HARI RAYA IBRANI

Rosh Hashshana
1 Tishre

* Umumnya Rosh Hashshana dikenal sebagai "Tahun Baru Ibrani." Namun, sebetulnya Rosh Hashshana memperingati tiga hal penting, yaitu:

(1) penciptaan manusia,

(2) ketika Abraham diuji imannya, dan

3) ketika TUHAN menghakimi manusia.

Yom Kippur
10 Tishre

* Dalam Alkitab Terjemahan Baru Lembaga Alkitab Indonesia (TB LAI), Yom Kippur diterjemahkan "Hari Pendamaian." Yom Kippur adalah hari raya yang paling khidmat dalam tradisi Ibrani. Biasanya diisi dengan berpuasa, yang dimulai pada 25 jam sebelum matahari terbenam. Yom Kippur diisi dengan pengakuan dosa serta pemulihan hubungan manusia dengan TUHAN.

Sukkoth
15-21 Tishre

* Dalam Alkitab disebut juga Hari Raya Pondok Daun. Sukkoth dirayakan untuk memperingati masa-masa ketika orang-orang Ibrani berada di padang gurun menuju Kanaan. Selama di padang gurun, mereka tinggal di tempat-tempat tinggal sementara berupa pondok-pondok kecil yang terbuat dari dedaunan. Tempat-tempat tinggal itu mereka sebut "sukka."

Sukkoth juga merupakan perayaan hasil panen. Banyak orang menyebut hari raya ini dengan sebutan "Hari Raya Tabernakel" atau "Feast of Tabernacle" tetapi sebutan ini keliru, sebab Sukkoth tidak merujuk pada tabernakel.

Khanukka
24 Kisleu - 2 Teveth

* Khanukka sering dianggap sebagai Natal Yahudi, sebab pada hari raya ini, orang-orang Yahudi menyalakan lilin di rumah-rumah mereka. Khanukka sebetulnya adalah peringatan kembalinya fungsi Bait Suci Salomo sebagai tempat ibadah, setelah sebelumnya dijadikan tempat penyembahan dewa Zeus oleh kaisar Yunani.

Khanukka dirayakan selama delapan hari untuk memperingati mujizat ketika minyak lampu di menora (tujuh kaki dian) yang seharusnya hanya cukup untuk satu hari, ternyata mampu bertahan sampai delapan hari.

Purim
14 Adar

* Purim adalah peringatan bebasnya orang-orang Yehuda dari persekongkolan keji oleh Haman di Persia. Persekongkolan itu berhasil dibongkar oleh Ratu Ester. Purim harus diisi dengan penuh kegembiraan dan sukacita.

Pesakh
15-22 Nisan

* Pesakh adalah peringatan ketika TUHAN mendatangkan tulah atas Mesir dengan membunuh anak-anak sulung mereka dan menyelamatkan anak-anak sulung orang-orang Ibrani. Tulah ini adalah tulah terakhir atas Mesir sebelum orang-orang Ibrani diizinkan keluar dari negeri itu.

Pesakh biasanya dirangkaikan dengan Hari Raya Roti Tidak Beragi.

Shavu'oth
6-7 Siwan

* Shavu'oth atau juga disebut Hari Pentakosta, sebab Shavu'oth jatuh pada hari kelima puluh dalam kalender Ibrani. Shavu'oth adalah peringatan diberikannya hukum-hukum Taurat di Gunung Sinai. Pada hari raya ini, hasil-hasil panen pertama dibawa ke Bait Suci.